Thursday, January 23, 2014

Be Brave!

Pesan untuk Sarah:

Semoga selalu menjadi anak yang pintar, kuat, percaya diri dan berani. 




Friday, January 17, 2014

Berdua saja


Semoga kamu selalu ingat. Malam-malam itu. Dimana kita, berdua saja. 





Berdua Saja

Ada yang tak sempat tergambarkan
Oleh kata ketika kita berdua
Hanya aku yang bisa bertanya
Mungkinkah kau tau jawabnya

Malam jadi saksinya
Kita berdua di antara kata yang tak terucap
Berharap waktu membawa keberanian
Untuk datang membawa jawaban

Mungkinkah kita ada kesempatan
Ucapkan janji
Takkan berpisah selamanya

(Dinyanyikan oleh Payung Teduh, Album: Dunia Batas)

 http://www.youtube.com/watch?v=56bK56eiaDY
 

Hari itu

Saya tidak akan pernah melupakan hari dimana Sarah lahir. Dini hari sekitar jam 4 pagi, saya merasakan tekanan-tekanan berkala di perut saya. Karena tidak tau rasanya kontraksi, saya pikir saya sakit perut biasa. Saya kemudian ke kamar mandi untuk buang air, tapi kemudian saya melihat bercak darah di pakaian dalam saya.

Sontak saya langsung bangunkan suami dan orang tua saya untuk kemudian berangkat ke rumah sakit. Saya bingung dan terus berpikir apakah bercak darah itu bagian dari proses mau melahirkan atau ada yang lain?

Sesampainya di rumah sakit saya langsung dimasukkan ke klinik bersalin. Saya ditempatkan di kamar tunggu berisi beberapa tempat tidur yang hanya dipisahkan oleh tirai. Saat perawat memeriksa katanya saya baru bukaan satu. Tapi karena ada bercak darah, saya diharuskan untuk tinggal di rumah sakit sambil menunggu proses pembukaan berikutnya.

Awal menunggu saya masih ketawa-tawa saja. Rasa sakitnya belum terlalu terasa, dan jarak antar sakit kontraksi juga masih jauh. Saya masih bisa ngobrol-ngobrol santai dengan Hendra, papa Sarah. Dalam hati deg-deg-an, tapi saya merasa harus siap. Saya mau melahirkan hari ini.

Lama-lama rasa sakitnya semakin naik. Suster bilang kepada Hendra untuk mencatat jarak antar kontraksi untuk dicocokkan dengan besar pembukaan. Saat sampai di bukaan 3, tiba-tiba pembukaan seperti berhenti, padahal sakitnya semakin terasa.

Saya coba mempraktikkan latihan pernafasan yang saya dapatkan saat mengikuti kelas yoga hamil beberapa minggu lalu. Kemudian juga berjalan-jalan di sekitar koridor rumah sakit. Hasilnya nihil, bukaan tidak bertambah, malah sakitnya semakin menjadi dan panjang, dengan jarak waktu antar kontraksi yang semakin singkat.

Menjelang jam 9 malam, saya merasa tidak tahan lagi. Kontraksi saya sungguh gila-gilaan. Saya merasa bayi di perut saya berguling kesana-kemari dan saya sungguh kesakitan. Kontraksi saya sudah berlangsung selama beberapa menit, dengan jarak antar kontraksi sekitar tiap setengah menit. Badan saya rasanya remuk dan saya pingin pingsan saja.

Menurut dokter saya, yakni Dokter Dewi Prabarini SpoG, kontraksi saya tersebut sudah setara dengan bukaan 9, atau bayi siap lahir. Tapi bukaan saya baru bukaan 4 dan seperti tidak bisa bertambah lagi. Entah apa yang terjadi di dalam. Melihat kondisi saya yang sudah kepayahan dan khawatir kondisi bayi akan menurun, akhirnya diputuskan saya harus operasi Caesar darurat malam itu.

Sepertinya tidak sampai 5 menit ketika saya akhirnya masuk ruang operasi, disuntik anestesi, kemudian dibaringkan di dipan, hingga saya mendengar suara tangis Sarah, bayi yang saya tunggu-tunggu. Saya langsung mengucap terimakasih Tuhan dan merasa lega sekali. Ingin saya rasanya langsung memeluk dan menggendong bayi saya, tapi ternyata kedua tangan saya diikat kanan dan kiri sebagai bagian dari prosedur operasi.

Saya mendengar suster dan dokter berbicara silih berganti, bayinya sehat ya bu, tangisnya kuat tu bu, perempuan ya bu. Setiap perkataan yang keluar ibarat angin surga di telinga saya, indah sekali.

Tak berapa lama ada suster mendekati saya sambil mengatakan, bayinya sempurna ya bu, lengkap semua. Di tangannya dia memegang bayi kecil saya yang sedang dia bersihkan dengan handuk, kepalanya yang kecil menghadap saya dengan mata yang juga menatap saya. Entah mengapa mata saya fokus melihat telinganya. Telinganya yang kecil terlihat indah dan sempurna sekali di mata saya. Saya ingat saya bilang, “Telinganya bagus sekali.”

Kemudian suster tadi menaruh Sarah di atas dada saya sebentar sebagai bagian dari proses pelekatan ibu dan bayi yang harus dilakukan. Saya lupa saya berkata apa, yang saya ingat saya mencium kepalanya, pipinya. Kemudian Sarah dibawa keluar ruangan untuk diperiksa oleh dokter anak.

Keluar dari ruang operasi, saya disambut oleh Hendra, papa dan mama saya serta saudara saya. Saya ingat, papa saya bilang, anakmu cantik banget. Cantik sekali. Iya memang pa, cantik sekali ya..

Saya kemudian istirahat beberapa jam di ruang pemulihan sebelum dibawa ke kamar inap. Di kamar itu saya tidak bisa tidur walaupun badan saya capek sekali. Saya terus tersenyum dan tak bisa menutup mata. Saya merasa sangat bahagia. Itulah kebahagiaan yang hakiki versi saya.

Saya merasa semesta begitu baik kepada saya hari itu. Saya tak akan pernah berhenti berterima kasih.

*Sarah Maleeka Soe lahir di RS Puri Cinere pada Selasa Pahing, 15 Maret 2011 jam 21.30 WIB, dengan berat 2,6 kilogram dan panjang 47 cm. Dokter yang menangani selama proses kehamilan dan kelahiran adalah Dokter Dewi Prabarini SpOG.

*Seminggu setelah kelahiran Sarah saya kontrol ke dokter dan diketahui bahwa penyebab saya mengalami pendarahan dan pembukaan tidak bertambah meski kontraksi tinggi adalah karena plasenta saya berada di bawah (plasenta previa), dan menutupi jalan lahir bayi. Sehingga sekuat apapun bayi berusaha keluar, ia tidak dapat menembus plasenta dan malah menyebabkan pendarahan. Kondisi ini sangat berbahaya bagi ibu dan janin apabila telat diketahui dan tidak segera diambil tindakan.









Thursday, January 16, 2014

Berawal dari Maleeka





*Dua paragraf pertama dari tulisan ini dikutip dari tulisan: Berawal dari Mallika, buku Jemari Telaten untuk Mallika, sebuah kisah program pemberdayaan perempuan petani kedele hitam di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Timur

Adalah Mallika, tempat kisah ini bermula. Sebuah varietas kedele unggulan karya tim peneliti Universitas Gadjah Mada. Dalam kosa kata sansekerta, Mallika bermakna kerajaan. Dia juga berarti perempuan dalam tradisi India. Feminitas dengan segala keperkasaannya, seperti diwakili puisi Hartono Andangjaya, dalam Mallika ini mewujud betul dalam keseluruhan proses sortasi.

Bagai gadis cantik, Mallika menuntut penanganan yang halus dan rumit. Jari-jemari telaten memilih dan memilah butir demi butir kedele. Soekarni, ketua Gapoktan (Gabungan Koperasi Kelompok Tani) Pringkuku, Pacitan, Jawa Timur, menggambarkan relasinya dengan Mallika. "Tidak bisa disortasi dengan blower atau mesin lainnya. Mallika harus dipilih pakai tangan, " kata Soekarni.

Maleeka, tokoh dalam blog ini, memiliki arti yang serupa dengan Mallika atau Malika, yakni perempuan yang perkasa dan berkomitmen kuat. Perkasa disini mungkin tidak secara harafiah, mengutip kalimat di atas "feminitas dengan segala keperkasaannya."

Maleeka sendiri adalah nama tengah dari putri saya Sarah Maleeka Soe yang dalam kesehariannya dipanggil dengan nama Sarah. Saya yang mengusulkan nama Maleeka ini sebagai nama tengahnya, dengan beberapa pertimbangan.

Pertama, saya merasa mendapatkan nama ini dari sebuah mimpi yang saya ingat samar-samar. Dalam mimpi itu seperti ada kakek tua yang menyebutkan kata Maleeka. Paginya saya mengusulkan nama ini ke papa Sarah dan ternyata dia juga menyukainya. Padahal biasanya kalau saya suka, dia tidak cocok. Demikian juga sebaliknya.

Kedua, kami juga sama-sama menyukai arti nama ini, yakni perempuan yang kuat dan perkasa. Kami berharap nantinya Sarah bisa menjadi perempuan yang kuat menghadapi segala hal dan pantang menyerah.

Seiring bertambahnya usia Sarah yang hampir mencapai 3 tahun pada saat blog ini dibuat, ia tengah mencapai tahapan eksplorasi yang sungguh menuntut banyak perhatian. Bicaranya mulai banyak, komunikatif, mudah menyerap pembicaraan orang atau tontonan di televisi, super keras kepala, dan secara fisik semakin tinggi, semakin cantik.

Blog ini akan bercerita mengenai perjalanan hidup Sarah dan semua eksplorasi hidup yang dilakukannya, sekaligus menceritakan mengenai proses hidup kami sebagai orang tuanya. Membesarkannya mungkin bagaikan menangani biji kedele Mallika yang menuntut penanganan yang halus dan rumit. Namun kami percaya, akan sepadan dengan hasilnya.

NS